oleh

Juniardi: Tantangan Wartawan Adalah Ketertutupan Birokrasi

Harianpilar.com, Tulangbawang – Ketertutupan birokrasi di daerah dan pejabat yang alergi terhadap media, dan maraknya Intimidasi serta kekerasan terhadap wartawan menjadi tantangan bagi kerja kerja wartawan. Sementara masyarakat melek informasi, ditengah iklim demokrasi dan komitmen presiden terpilih saat ini menjadi peluang bagi kemajuan pers dan kerja jurnalistik.

“Tantangannya pers saat ini adalah maraknya intimidasi dan kekerasan terhadap wartawan  dan ketertutupan birokrasi atau pejabat yang alergi terhadap media,” kata Juniardi SIP MH, Anggota Dewan Kehormatan daerah PWI Cabang Lampung, saat menjadi pembicara pada Workshop Kehumasan, Wartawan se Kabupaten Tulangbawang, Rabu (18/11/2015), bersama tokoh Pers Lampung, Bambang Eka Wijaya, Pimpinan Umum SKH Lampung Post, di Gedung Balai Kartini, Menggala

Menurut Juniardi, salah satu sarana untuk memperoleh informasi adalah dari pers, maka kemerdekaan pers dijamin melalui suatu undang-undang. Dan bagian dari hak publik salah satunya adalah hak publik untuk mendapatkan informasi. “Hak tersebut merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa,” kata Mantan Ketua Komisi Informasi Provinsi Lampung ini.

Kemajuan teknologi, Kata Juniardi, menjadikan informasi tersebar lebih cepat. Media cetak seperti koran, majalah, surat kabar dan sejenisnya mulai tergeser dengan kehadiran media elektronik seperti radio dan televisi. Terlebih telah hadir teknologi internet di mana kita dapat menjelajahi berita dengan kedalamannya tanpa terikat batasan waktu maupun ruang. “Atas nama kecepatan, kini banyak berita di media online yang hanya asal unggah dalam menyampaikan informasi. Standar akurasi, keberimbangan berita, dan pengabaian etika jurnalistik menjadi hal yang tak diperhatikan. Media saat ini cenderung membuka informasi kepada masyarakat seluas-luasnya, dalam bentuk yang sebebas-bebasnya. “Kini banyak insan pers yang tidak mengerti kode etik apalagi memahami UU tentang pers terbukti sebagian besar pengaduan masyarakat kepada Dewan Pers berkaitan dengan pelanggaran kode etik. Hakikatnya memang kebebasan pers adalah kebebasan bersuara bagi masyarakat. Mendirikan media pers adalah hak bagi setiap warga negara. Namun, ada tanggung jawab yang harus dipertanggungjawabkan pada masyarakat, setidaknya bertanggung jawab kepada pembaca, pendengar, dan penonton media masing-masing,” Kata Alumni S2 FH Unila ini.

Sementara Bambang Eka Wijaya, mengingatkan kerja kerja wartawan untuk tetap menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik. Banyak kalangan yang menilai bahwa kebebasan pers saat ini sedang “kebablasan”. Di era teknologi yang serba maju ini tetap dibutuhkan wartawan yang paham dan taat kode etik, di mana ini menjadi sesuatu yang seharusnya menjadi simbol kebanggaan profesinya. Hanya saja, tidak banyak wartawan yang memahami kode etiknya. Jangankan memahami kode etik, masih banyak wartawan yang belum pernah membaca kode etik. “Wartawan wajib mematuhi kode etik jurnalistik karena kode etik jurnalistik diandaikan sebagai pagar moral dan bentuk tanggung jawab etis wartawan serta integritas profesi wartawan. Kode etik jurnalistik bersifat personal dan otonom, disusun melalui ketentuan-ketentuan tertulis oleh, dari, dan untuk wartawan yang tergabung dalam suatu organisasi kewartawanan, untuk kemudian berikrar melaksanakannya,” kata Bambang Eka Wijaya.

Kode etik jurnalistik, Ujar Bambang bersifat personal dan otonom, disusun melalui ketentuan-ketentuan tertulis oleh, dari, dan untuk wartawan yang tergabung dalam suatu organisasi kewartawanan, untuk kemudian berikrar melaksanakannya. “Kode etik mengatur tentang etika seorang wartawan, termasuk batasan batasan yang harus di jaga. Melindungi hak perempuan dan anak yang menjadi korban, hingga hak hak koreksi atau hak jawab,” kata penulis kolom Buras ini. (wan/jj)