Harianpilar.com, Bandarlampung – Lembaga Bantuan Hukum Karya Utama (LBH-BKU) mendesak Komisi Yudisial (KY) memeriksa manjelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Blambanganumpu Kabupaten Waykanan yang menangani perkara kasus pelecehan seksual anak disabilitas (kecerdasan dibawah rata-rata) dengan terdakwa H.Rusdi Bin (alm) H. Mustofa.
Sebab, majelis hakim hanya memvonis terdakwa dengan 4 tahun penjara dan denda Rp8,5 juta. Sementara, tuntutan JPU penjara 10 tahun dan denda Rp1 Miliar. Atas putusan itu Kejari Waykanan dikabarkan banding.
Dalam SIPP.PN.Blambanganumpu dan dalam putusan Nomor 81/Pid.sus/2021/PN Bbu diketahui manjelis hakim PN Blambanganumpu yang terdiri dari Fadesa Lucia Martina ( sebagai Hakim Ketua), Echo Wardoyo dan Ridwan Pratama (masing-masing Hakim Anggota) menyatakan terdakwa H. Rusdi bin H.Mustofa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perkosaan yang dilakukan secara berlanjut;
Dalam putusan yang dibacakan Selasa 31 Agustus 2021 itu, Manjelis Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun. Menghukum terdakwa untuk membayar restitusi kepada saksi korban MO binti Saripudin sejumlah Rp8.575.000,00 (delapan juta lima ratus tujuh puluh lima ribu rupiah);
Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kecuali selama terdakwa ditangguhkan oleh penyidik sejak tanggal 18 Februari 2021 sampai dengan 21 April 2021 dan dibantarkan oleh Majelis Hakim sejak tanggal 5 Agustus 2021 sampai dengan 10 Agustus 2021. Menetapkan terdakwa tetap ditahan.
Vonis majelis hakim ini jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). JPU dalam perkara itu, Ahmada Basyara Zahra, dalam tuntutannya meminta manjelis hakim menyatakan terdakwa H.Rusdi Bin (alm) H. Mustofa terbukti bersalah melakukan tindak pidana “melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain yang dilakukan secara berulang-ulang sehinga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut” sebagaimana surat dakwaan pertama melanggar pasal 76 D Jo Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang R.I. Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana 2
JPU menuntut agar manjelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara, dan denda sebesar Rp1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan pidana kurungan dengan perintah terdakwa tetap ditahan.
Tuntutan ini dibacakan dan diserahkan dalam sidang Rabu tanggal 14 Juli 2021.
Kadiv. Perlindungan Anak Lembaga Bantuan Hukum Karya Utama (LBH-BKU), Turaihan Aldi, mengatakan, KY harus memeriksa majelis hakim perkara itu, sebab putusan manjelis hakim itu tidak mencerminkan rasa keadilan bagi korban, keluarga korban, maupun masyarakat.”Korban itu anak disabilitas. Sementara putusan hakim jauh sekali dari tuntutan jaksa. Ini tidak memcerminkan keadilan bagi semua pihak,” tegas Aldi pada Harian Pilar, Minggu (5/9).
Menurut Aldi, sejak awal penanganan kasus ini terdakwa H. Rusdi tidak kooperatif, dan proses pemeriksaan dialihkan ke Polda Lampung.
“Sejak proses BAP di kepolisian terdakwa telah menunjukan sikap tidak kooperatif, awalnya pemeriksaan kasus ini di lakukan di Polres Way Kanan, karena ada pertimbangan soal keselamatan korban, kasus ini di limpahkan ke Polda Lampung. Hingga kasus ini sempat di perpanjang beberapa pekan,” terangnya.
Aldi juga mendesak JPU Kejari Waykanan melakukan banding atas putusan hakim tersebut, agar keputusan tingkat pertama dapat dapat diuji oleh Pengadilan Tinggi.
“Relasi kuasa sangat kental dalam peristiwa ini, karena terdakwa merupakan pemilik kebun karet yang cukup luas, sementara keluarga korban merupakan keluarga yang secara ekonomi kurang,” urainya.
Aldi menjelaskan, sejak lahir korban memiliki kekurangan yang dapat menghambat tumbuh kembangnya (kecerdasan dibawah rata-rata) anak seusianya, sehingga korban tidak memiliki daya dan kemampuan ketika di redupaksa oleh terdawa. Kekerasan seksual yang dilakukan terdakwa terhadap korban terjadi berulang, hal ini merupakan pola dari peristiwa kekerasan seksual. “Dan ini sangat berpemgaruh terhadap kesehatan mentalnya (trauma). Pada konteks kejahatan seksual kali ini adalah korban merupakan anak yang bisa dikatagorikan anak berkebutuhan khusus, yang mesti nya dilindungi dengan perlakuan khusus,” pungkasnya.
Hingga berita ini diturunkan, majelis hakim PN Blambanganumpu yang menangani perkara tersebut belum berhasil dikonfirmasi.
Namun, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Lampung, Andrie W Setiawan, mengatakan, pihaknya sudah melakukan pengecekan ke Kejari Waykanan terkait perkara itu, dan JPU dipastikan akan banding atas putusan tersebut.”Banding. Besok detailnya dikabarkan,” pungkasnya.(Tim/Hipni J)