Harianpilar.com, Bandarlampung – Provinsi Lampung termasuk daerah yang memiliki jumlah sengketa agraria yang tinggi. Namun, hingga kini upaya penyelesaian oleh pemerintah masih sangat kurang. Bahkan, disatu tahun pertama Kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung M Ridho Ficardo dan Bachtiar Basri dinilai belum ada kebijakan untuk menyelesaikan konflik agraria.
Mirisnya, dari setiap konflik agraria selalu menempatkan masyarakat kecil sebagai korban. Hak-hak dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan hak sosial lainnya kerap terabaikan akibat konflik agraria yang berkepanjangan.
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Lampung, Tisnanta, mengatakan, disatu tahun pertama kepemimpinan Ridho-Bachtiar nyaris tidak ada kebijakan yang dikeluarkan untuk menyelesaikan konflik agraria di Lampung. Padahal, jumlah konflik agraria di Lampung masih sangat tinggi.
Seharusnya Pemerintah Provinsi Lampung berupaya menciptakan kepastian hukum dan memfasilitasi penyelesaian masalah pertanahan yang ada,”Yang disayangkan, sampai saat ini belum ada kebijakan yang dibuat oleh Gubernur beserta jajarannya,” tegas Tisnanta pada Harian Pilar, Selasa (26/5/2015).
Akibat dari konflik agraria yang takkunjung diselesaikan, lanjutnya, akhirnya bergeser menjadi konflik hukum, politik, sosial sampai pemerintahan. “Entah pemikiran seperti apa, yang ada dibenak pemerintah sehingga kasus pertanahan dibiarkan berlarut-larut,” cetusnya.
Provinsi Lampung termasuk salah satu daerah yang banyak dilanda konflik tanah. Konflik agraria yang paling menonjol saat ini dan mendapatkan sorotan publik yakni konflik yang melibatkan warga dengan perusahaan ataupun warga dengan pemerintah terkait lahan yang mereka tempati.
Hampir di setiap kabupaten/kota di Provinsi Lampung dapat dipastikan ada konflik pertanahan.Namun, kepala daerah tampaknya enggan masuk ke arena ini. Faktanya Lampung belum memiliki Perda tentang pertanahan.
Koordinator Wilayah Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Lampung, Praja Wiguna, menambahkan, pemerintah kurang peduli dengan nasib petani. Sebaliknya, pemerintah justru lebih terbuka terhadap invstor.
Menurut Praja, berdasarkan data Kemenhut RI total luas lahan yang diberikan kepada pengusaha besar dalam bentuk hak pengelolaan hutan tanaman industri (HPHTI) mencapai 114.444 ha. Sementara jumlah lahan yang bisa dikelola rakyat dalam bentuk hutan tanaman rakyat (HTR) dan hutan kemasyarakatan (HKm) hanya seluas 24.835 hektare dan 35.718,61 hektare.
Bahkan, lanjutnya, kondisi lebih para terjadi di Lampung, dimana separuh kawasan hutan Lampung dikuasai hanya beberapa perusahaan. Seperti PT Inhutani V Way Rebang Muara Dua menguasai lahan terbesar yakni 55.157 hektare, PT Silva Inhutani Lampung menguasai 42.762 hektare. PT Budi Lampung Sejahtera menguasai 9.600 ha.
“Sementara petani yang hanya perlu lahan untuk digarap guna menyambung hidup kerap kali digusur. Petani terus terpinggirkan, sementara perusahaan-perusahaan besar mengusai tanah dalam jumlah sangat besar. Ketidak adilan dan ketimpangan seperti inilah pemicu konflik agraria. Dan rakyat kecil yang lemah selalu tidak berdaya melawan perusahaan besar. Sementara pemerintah cenderung tidak peduli,” tandasnya.
Hingga saat ini, menurut Praja, belum terlihat adanya kebijakan dari Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung Ridho-Bachtiar untuk mengatasi konflik agraria di Lampung. Padahal, dampak dari konflik agraria itu sangat menyengsarakan rakyat.”Contoh terbaru di Moro-moro Register 45, Sekolahan yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat ditutup. Padahal pendidikan adalah hak dasar warga Negara Indonesia. Ini ekses negatif dari konflik agraria,” pungkasnya. (Fitri/Minton/Juanda)