Harianpilar.com, Bandarlampung – Meski Satono telah wafat, Kejaksaan didesak tetap mengejar kerugian Negara dalam kasusnya. Selain itu, pihak yang terindikasi mengetahui keberadaanya namun mendiamkannya, serta pihak yang menolong pelarian dan persembunyiannya juga harus diusut. Sebab mantan Bupati Lampung Timur (Lamtim) itu tidak terdeteksi saat masih hidup namun muncul saat wafat. Sehingga patut diduga ada yang membantunya bersembunyi.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila), DR. Eddy Rifai, mengatakan, dengan meninggalnya Satono memang dapat menghentikan sanksi pidananya. “Misal jika Satono sudah menjadi terdakwa atau tersangka bisa distop. Atau jika sudah menjalani pidana, pidananya di stop,” kata Ketua Program Pascasarjana FH Unila ini, Rabu (14/07/2021).
Namun, kata dia, untuk hukuman sanksi pidana dendanya pihak Satono harus mengembalikan kerugian Negara. “Menurut undang-undang Tipikor, Negara dapat menuntut pengembalian kerugian Negara ke pihak keluarganya (ahli warisnya),” jelasnya.
Eddi Rifai mencontohkan, seperti kasus Presiden kedua Indonesia Soeharto dimana Negara menggugat pengembalian kerugian Negara.”Kayak kasus Soeharto, dia meninggal kemudian digugat, pihak Soeharto harus mengembalikan kerugian Negara Rp4 triliun kalau tidak salah. Tapi kalau pihak keluarga mau melawan ya silahkan,” ungkapnya.
Selain itu, Kejaksaan juga bisa menyelidiki apakah selama pelarian Satono ada oknum atau pihak yang membantu pelariannya atau menyembunyikannya.
“Bisa saja ini dikejar. Kalau ada bukti, oknum itu bakal kena sanksi. Dalam KUHP orang yang menyembunyikan penjahat bisa dipidana,” tandasnya.
Hal senada disampaikan pengamat Hukum Unila lainnya, DR.Yusdianto. Menurutnya, untuk pidana kasus Satono dinyatakan gugur karena yang bersangkutan telah meninggal dunia. Namun, kerugian Negara tetap harus dikejar dan dialihkan ke ahli warisnya Satono.
Menurutnya, hal itu sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut pasal ini, dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka jaksa dapat mengalihkan kepada ahli warisnya.”Apabila secara nyata telah berdasakan putusan hukum yang incrah ada kerugian keuangan negara, gugatan perdata dapat dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan terhadap ahli waris tersangka korupsi yang meninggal dunia,” urainya.
Hal itulah yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka memelihara ketertiban hukum. Kepastian hukum dan melindungi kepentingan Negara dan pemerintah serta hak hak keperdataan masyarakat.”Dalam hal ini kejaksaan wajib melakukan gugatan perdata terhadap terpidana/ahli waris perkara tindak pidana korupsi atas harta kekayaannya yang diduga hasil Tipikor dan belum dilakukan perampasan setelah terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” terangnya.
Selain mengejar kerugian negara, lanjut Yusdianto, kejaksaan juga harus mengejar oknum yang terindikasi menyembunyikan Satono. Hal itu juga sesuai dengan Pasal 221 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur mengenai perbuatan menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan dan menghalang-halangi penyidikan: Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Disampaikannya, barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
“Dengan penjelasan: Orang dengan sengaja menyembunyikan orang yang telah melakukan kejahatan atau yang dituntut karena sesuatu kejahatan, atau menolong orang untuk melarikan diri dari penyelidikan dan pemeriksaan atau tahanan oleh polisi dan yustisi. (Pelanggar pasal ini harus tahu bahwa orang yang ia sembunyikan atau ia tolong itu betul telah melakukan kejahatan atau dituntut karena perkara kejahatan),” bebernya.
Pengamat hukum Unila lainnya, DR.Budiyono, menambahkan, ketika terpidana sudah meninggal maka kasus terhadap terpidana selesai. Namun, sanksi hukum yang lain bisa dilakukan terhadap pengembalian keuangan negara yang dibebankan kepada terpidana. “Terutama aset-aset terpidana yang sudah meninggal ini yang harus dilakukan oleh pihak kejaksaan selaku pihak eksekutor,” kata dia.
Selain itu, lanjutnya, kejaksaan harus menyelidiki pihak-pihak yang selama ini menyembunyikan atau tahu keberadaan terpidana tapi tidak memberitahukan kepada kejaksaan. “Karena tidak mungkin terpidana ini tiba-tiba meninggal dirumah sakit atau dirumah keluarga, ini harus diselidiki pihak kejaksaan sejak kapan dia dirumah sakit atau dirumah keluarga,” jelasnya.
Pengamat hukum Unila lainnya, Iwan Satriawan mengatakan, secara hukum pidana kesalahan tidak dapat diwariskan atau diwakilkan ke orang lain.
“Maka dengan meninggalnya Satono kasus tersebut ditutup. Karena secara hukum ya sanksi tersebut gugur secara otomatis ketika terdakwa meninggal dunia. Karena hukum pidana tidak ada pelimpahan ke ahli waris untuk menanggungnya. Beda dengan hukum perdata,” kata dia.
Namun, kata dia, akan lebih baik jika diarahkan ke siapa yang selama ini yang menyembunyikan Satono. “Ini yang harus dikejar. Karena hidupnya tidak ditemukan namun begitu meninggal ditemukan. Ini bisa jadi pintu awal untuk membuka siapa selama ini yang melindungi Satono, ini yang harus dikejar,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandarlampung, Abdullah Noer Deny, mengatakan, pihaknya sudah berulang kali melakukan mapping kediamannya di tiga tempat namun selalu bocor. “Kami selaku eksekutor sudah mengirimkan status DPO dari tahun dia melarikan diri, sampai dengan ada berita meninggal. Kemungkinan selama ini ada yang menyembunyikan, yang bersangkutan juga berpindah-pindah tempat. Saya sudah kumpulkan dan mapping kediamannya di tiga lokasi namun selalu ada kebocoran, itu yang terjadi mungkin kelihaian yang bersangkutan,” ungkapnya saat konferensi pers, Selasa (13/07/2021).
Namun, Abdullah Noer Deny, enggan berkomentar terkait kemungkinan ada pihak yang membantu persembunyiannya.“Nggak berani saya ngomongin itu, saya tidak berani komentar masalah yang itu, karena yang dihadapkan ke saya adalah yang bersangkutan meninggal, yang bersangkutan DPO,” imbuhnya.
Menurutnya, Kejari Bandar Lampung selaku jaksa eksekutor pada perkara Satono, sudah bekerja secara maksimal dan terbuka untuk setiap perkembangannya. Abdullah Noer Deny mempersilahkan siapapun yang mengetahui dan memiliki bukti adanya pihak yang terlibat, untuk melaporkannya ke Kejaksaan Agung. “Kalau memang teman-teman media ada informasi seperti itu silahkan dilaporkan ya, misalkan pak Kajari terlibat begini-begini nah silahkan, tapi pada prinsipnya kami transparan saja, bahwa kami selama ini karena yang bersangkutan itu DPO kita laporkan ke Kejagung, sudah berusaha mapping macam-macam, tapi belum dapat ya sudah,” tegasnya.
Diketahui Satono sendiri, merupakan terpidana perkara Korupsi APBD Kabupaten Lampung Timur tahun anggaran 2005, dengan total kerugian negara yang timbul akibat kejahatannya tersebut sebesar Rp119 miliar, dan telah divonis penjara selama 15 tahun di 2012 lalu oleh Mahkamah Agung setelah sempat divonis bebas oleh Hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang.(Ramona/Maryadi)