Harianpilar.com, Pesawaran – Praktek pungutan liar (Pungli) ternyata tidak hanya terjadi pada pelayanan publik saja, namun juga terjadi pada pengelolaan hutan di Register 19 Wan Abdurrahman, yang berada di wilayah Kabupaten Pesawaran. Diduga, praktek pungli melibat oknum Dinas Kehutanan Porvinsi Lampung.
Menurut pengakuan salah seorang penggarap hutan Register 19 yang enggan menyebutkan namanya, dugaan praktek pungli oleh oknum Dinas Kehutanan Provinsi Lampung sangat lah rapi dan terselubung. Sehingga sulit untuk diungkap dan tersentuh hukum.
“Karena dugaan Pungli tersebut melibatkan para pengarap Register 19 itu sendiri yang dibentuk dan dibina oleh Oknum Dinas Kehutanan Propinsi Lampung,” ungkap Sumber, belum lama ini.
Menurut sumber, para penggarap diwajibkan setor uang sebesar Rp50 ribu untuk satu hektar lahan garapan per tahunnya.
“Coba saja kalikan jika semua penggarap menyetorkan uang Rp50.000/hektar untuk pertahunnya. Yang mana luas wilayah garapan sekitar kurang lebih 6000 hektar jika di kali Rp50.000 maka hasilnya Rp300.000.000/tahun. Sedang kan hal itu sudah terjadi sejak tahun 2001 sampai 2015 jadi sudah 15 tahun jadi Rp300.000.000 X 15 tahun, maka jumlahnya mencapai Rp4,5 miliar itu kan sangat luar biasa mas,” ungkap sumber lagi.
Ia juga mengatakan bahwa dirinya tidak tahu setoran wajib Rp50 ribu tersebut apakah memang dimasukan kas negara atau digunakan oleh oknum untuk memperkaya diri sendiri, karena menurutnya jumlah tersebut sangat banyak.
“Kami sendiri tidak tahu apakah dana itu sebagai setoran pajak kami selaku pengarap di tanah kehutanan atau dimakan oleh oknum -oknum dinas,” ujarnya.
Hal senada juga dikatakan pengarap lain, jika pungli tidak hanya diminta untuk lahgan garapan, namun juga diminta untuk biaya ukur lahan sebesar Rp200 ribu/hektar.
“Ia mas selain kami harus setor Rp50.000/hektar untuk satu tahun nya, pada tahun ini pun (2016-Red) diwajibkan menyetorkan uang kepada masing-masing kelompok tani sebesar Rp200.000/hektar, katanya untuk biaya pengukuran lahan yang kami garap, agar lahan garapan milik kami terdata dan sebagai syarat dapat bermitra dengan Dinas Kehutanan dan lahan kami dapat menjadi legal sebagai milik garapan kami,” ungkapnya.
Dia juga memaparkan, jika Rp200.000/hektar dikalikan luas lahan garapan kurang lebih 6000 hektar di wilayah Gunung Sepakat maka jumlahnya mencapai Rp1,2 miliar.
“Belum lagi kawasan yang berada di daerah Sungai Langka, daerah Wiyono dan Kebagusan berapa ribu hektar mas, ini kan bisa saja dijadikan sebagai proyek pengukuran bagi oknum-oknum. Mirisnya lagi mas, adanya jual beli lahan garapan, apakah dibolehkan kalau pemilik lahan garapan yang ada di Register 19 Wanabdurahman menjual belikan lahan garapan. Soalnya ada salah seorang oknum Polhut diduga telah melakukan jual beli tanah garapan yang ada di Register 19,” pungkasnya.
Terkait adanya dugaan Pungli dan jual beli lahan garapan yang dilakukan oknum Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, Kepala Pemangkuan Hutan Lindung (KPHL-Red) Wanabdurahman Propinsi Lampung Sumardi menjelaskan, akan mempelajari temuan tersebut.
“Tentunya kita akan mencari informasi dulu kepada kelompok kelompok tani, benar atau tidak dan kalau ada oknum Polhut yang jual beli lahan kita akan lapor kan itu kepada Kasat nya mas,” jelas Sumardi, melalui SMS.
Kemudian, terkait adanya pungutan Rp200.000/hektar, dirinya membatah tudingan tersebut. Menurutnya, program kemitraan yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan bertujuan agar para pengarap yang ada di Register 19 dapat bersama sama menjaga kelestarian hutan kawasan, selain itu juga dapat memanfaat kan hasil kawasan bukan kayu yang bertujuan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar kawasan.
“Soal uang Rp200.000 pihaknya tidak tahu menahu itu mungkin persetujuan anggota dan kelompok pengarap di sana karena soal pengukuran pemetaan dan rincian merupakan domain kelompok tani penggarap kawasan hutan Tahura di blok pemanfaatan sebagai rujukan dalam membangun kemitraan menuju tertib pengelola.
Jadi tidak ada proyek pengukuran dan biaya yang dikeluarkan oleh kelompok, adapun biaya yang dikeluarkan kelompok itu untuk kelompok itu sendiri, sedangkan petugas ukur hanya membantu dalam proses pemetaan,” tandasnya. (Tim/Juanda)