Seperti biasa saya telat bangun pagi, karena kerja selalu sampai larut malam dan tidur pun selalu terlambat. Namun, ada yang tidak biasa saat saya terlambat bangun kemarin pagi, Istri saya yang biasanya cuek ketika saya bangun kesiangan, tiba-tiba membangunkan saya.
“Bangun-bangun yah”.
Karena kaget saya pun terbangun sambil mengusap-usap mata.
“Ya ada apa bu? Kok dibangunin ayah masih ngantuk’.
“Ini Koran ayah kenapa ngeberitain pedagang di PKOR Wayhalim mau direlokasi,” tanya Istri ku dengan nada sedikit tinggi sambil menyodorkan Koran Harian Pilar dan telunjuknya menunjuk salah satu berita berjudul ‘PKL PKOR Akan Direlokasi’
Saya agak kaget, tumben-tumbenan Istri saya mengkritisi berita koran. Sepanjang saya menikah bahkan dari waktu pacaran, Istri saya tidak pernah mengomentari berita-berita yang saya buat waktu saya masih bekerja di perusahaan lain, atau pun berita di koran Harian Pilar yang saya dirikan.
Saya berpikir positif saja melihat sikap kritis Istri saya, mungkin Istri saya sudah mulai rajin baca koran, dan mulai paham masalah-masalah yang diberitakan. Jadi Istri saya tergerak melakukan protes ketika PKL digusur.
“Ini perlu dijelaskan isi dan tujuan berita itu agar pemahamannya luas,” gumam ku dalam hati.
“Ya memang ada berita itu. Tujuannya bagus karena Gubernur Lampung sekarang sedang mendongkrak prestasi Atlet Lampung. Salah satu caranya menyiapkan sarana dan prasaran olahraga. Nah, PKOR Wayhalim memang pusat olahraga, fasilitasnya akan dilengkapi, pedagang harus direlokasi. Jadi gak ada masalah berita itu,” Saya berupaya menjelaskan kepada Istri ku.
“Ya tapikan ibu baru dua hari mulai jualan di PKOR Wayhalim yah, masak sudah mau digusur,” keluh Istri saya.
Mendengar isi protesnya seperti itu, saya langsung teringat jika seminggu yang lalu Istri saya sibuk merubah kursi belakang mobilnya untuk jualan pakaian. Istri saya tergerak jualan berbagai jenis pakaian karena melihat teman-temannya banyak yang jualan di PKOR.
Saya juga baru paham, ternyata sikap kritis Istri saya ini muncul karena kepentingannya terusik.
“Istri pun akan protes ketika kepentingannya terganggu,” gumam ku sambil tersenyum.
“Oh begitu masalahnya. Kalau begitu gak perlu diributin beritanya. Kan ibu gak jualan juga Insyaallah tetap bisa makan, dan gaji ayah dari kantor kan selalu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dan kita harus meletakkan kepentingan pribadi demi kepentingan umum. Meningkatkan prestasi olahraga itu kepentingan umum, jadi harus didukung kebijakan Pemprov Lampung itu,”
terang saya memberi pemahaman kepada Istri ku dan berharap dia bisa menerima.
“Iya kalau ibu. Tapi bagaimana dengan pedagang-pedagang lain yang memang menggantungkan hidup dari berjualan di PKOR. Kan kasian mereka,” protes Istri ku.
Pada titik ini, saya yang kebingungan. Sebagai suami saya tentu harus membela kepentingan istri saya dan pedagang PKOR lainnya. Tapi sebagai wartawan, saya tidak boleh memihak meskipun itu kepada istri sendiri.
“Ayah dan seluruh karyawan yang bekerja di Bagian Redaksi berpedoman dengan Kode Etik Jurnalis dan UU Pers. Dan berita itu tidak ada sedikitpun melanggar kedua pedoman itu, makanya diterbitkan. Meski sebagai pemilik media, ayah juga tidak boleh mengintervensi kebijakan redaksi. Karena jajaran redaksi memutuskan berita itu layak muat, ya harus di muat,” jelas ku.
“Ya Tapi…,” sergah Istri ku,
Namun langsung saya potong sebelum terlaluh jauh dia memberi penjelasan.
“Iya ayah paham maksud ibu. Tapi yakinlah pemerintah atau Gubernur Lampung sudah membuat rencana matang, bagaimana PKOR dijadikan pusat olahraga dengan berbagai fasilitas lengkapnya, tapi nasib para pedagang seperti ibu juga tidak diabaikan. Itu bukan di gusur begitu saja, tapi di relokasi atau dipindah tempatkan ke lokasi yang lebih tepat agar semua bisa berjalan. Pedagang bisa berjualan dan peningkatan fasilitas olahraga tetap dilakukan,”
“Oh bukan digusur, tapi dipindah tempatkan saja ya yah. Kalau begitu ibu dan pedagang PKOR tetap bisa berjualan. Semoga rencana Pemerintah beneran seperti itu. Ya udah ayah lanjutin aja tidurnya,” cetus Istri ku sambil meninggalkan kamar tidur.
“Gimana mau tidur, Kantuk sudah ilang,” gerutuk ku. (*)
Komentar