Harianpilar.com, Lampung Utara – Rendahnya penyerapan hasil panen oleh Bulog Lampung dan Lampung Utara terhadap gabah petani membuat petani kesulitan menjual hasil panen. Sehingga petani terpaksa menjual hasil panen di bawah harga yang ditentukan ke tengkulak. Sebab petani terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Kondisi itu menjadi realitas yang dialami para petani pasca panen. Salah satunya dialami, Makmun, petani di Way Abung Lampung Utara. Makmun mengaku terpaksa menjual gabah dengan harga rendah. “Ya mau bagaimana lagi, Mas. Kalau kami minta harga Rp6.500, teman-teman tengkulak tidak mau ambil gabah kami. Padahal kami masih punya hutang pupuk dan biaya tanam yang harus diselesaikan. Mau tidak mau, kami terpaksa jual di harga Rp5.300,” ujarnya.
Ketua Aliansi Komunitas Aksi Rakyat (Akar) Provinsi Lampung, Indra Musta’in, menilai Bulog setempat nyaris tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ia menyebut, aktivitas pengumpulan gabah di tingkat petani saat ini didominasi oleh para tengkulak. Harga gabah yang diterima petani pun anjlok, hanya di kisaran Rp5.200 hingga Rp5.300 per kilogram, jauh dari harga acuan yang telah ditetapkan pemerintah.
Padahal baru pekan kemaren, Gubernur Lampung meminta Bulog disemua Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung untuk aktif, dengan ketentuan harga padi basah yang dibeli dengan Petani dengan harga yang telah dipatok sebesar Rp 6.500Kg. Langkah ini sebagai upaya menekan ketidakseimbangan harga dan pemerataan pembelian gabah dari petani di Lampung guna mewujudkan kesejahteraan Petani.
“Indikasinya ada main mata antara oknum Bulog dengan tengkulak. Bulog minim turun ke lapangan. Kalau Bulog benar-benar menyerap dengan harga sesuai ketentuan, mereka mungkin tidak dapat bagian (untung) di ujung,” ujar Indra saat melakukan kunjungan panen di wilayah Wayabung, Lampung Utara, Minggu (20/4).
Ia menilai, sikap pembiaran ini membuka ruang bagi tengkulak untuk menguasai gabah petani, yang kemudian juga masuk ke gudang Bulog lewat jalur kelompok.
Menurut Indra, jika harga gabah ditekan di bawah Rp5.300/kilogram, keuntungan yang diperoleh tengkulak bisa mencapai Rp1.200/kilogram. “Kalau satu petani minimal panen dua ton, dikalikan ribuan petani, bisa dibayangkan berapa besar keuntungan yang mereka raup dari praktik ini,” tegasnya.
Indra Musta’in menegaskan, pihaknya akan melakukan advokasi untuk mendorong Bulog lebih aktif dan transparan. “Dalam waktu dekat, kami akan bertandang ke kantor pusat Bulog di Jakarta untuk meminta keterbukaan terkait kondisi di Lampung,” ujarnya.
Selain itu, ia menyatakan akan segera meminta audiensi dengan Gubernur Lampung, Mirzani Djausal, guna memperkuat manajerial pertanian di daerah. Menurutnya, keberadaan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti Dinas Pertanian di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota seharusnya bisa menjadi instrumen pengawasan yang efektif, bukan sekadar penonton.
“Pemerintah memiliki perangkat dinas pertanian. Namun faktanya, saat ini mereka hanya menonton dan menutup mata,” katanya.
Indra berharap ke depan pemerintah daerah dan Bulog segera mengambil langkah konkret agar harga gabah di Lampung kembali sesuai ketetapan Menteri Pertanian dan Gubernur Lampung, sehingga kesejahteraan petani bisa lebih terjamin. (*)