Harianpilar.com, Bandarlampung – Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkum dan HAM) yang kini berprofesi sebagai advokat, Denny Indrayana, menggulirkan isu dan mengaku dirinya mendapatkan informasi mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal sistem pemilu legislatif yang akan kembali ke sistem proporsional tertutup atau coblos partai.
Artinya, MK secara kelembagaan akan menerima gugatan proporsional terbuka dan mengembalikan ke sistem proporsional tertutup layaknya era Orde Baru.
Putusan tersebut, kata Denny, diwarnai perbedaan pendapat atau dissenting opinion di MK.
“Informasinya putusan MK kembali ke proporsional tertutup. Putusan 6:3, tiga dissenting opinion,” ungkap Denny, Minggu (28/5) dilansir ABNEWS.
Denny mengklaim mendapatkan informasi tersebut dari sumber yang terpercaya kredibilitasnya.
“Informasi yang saya dapat demikian (MK kabulkan sistem pemilu tertutup),” tegasnya.
Menanggapi itu, pengamat politik Ray Rangkuti mempertanyakan soal mudahnya informasi di MK, bahkan yang belum diputus, bocor ke publik.
“Itu sebetulnya mengkhawatirkan. Apakah mungkin di MK itu terbiasa satu putusan yang belum dibacakan diketahui hasilnya?” ujar Ray, Minggu (28/5).
Ray mengemukakan informasi liar yang beredar itu membuat MK menjadi sulit dipercaya. Bahkan, Ray menilai Denny yang melempar pernyataan soal putusan MK memilih proposional tertutup memperlihatkan sistem di MK.
“Itu menunjukkan kelemahan di dalam internal MK. Orang bisa membocorkan hasil putusan sebelum di putusan resmi,” tukas Ray.
Terpisah, juru bicara MK, Fajar Laksono, secara tegas membantah informasi bahwa hakim konstitusi akan mengabulkan permohonan sistem pemilu menjadi tertutup.
Fajar menegaskan penyerahan kesimpulan para pihak terkait baru akan diserahkan pada 31 Mei 2023.
“Setelah itu baru dibahas dan diputus oleh majelis hakim dan baru diagendakan sidang pengucapan putusan,” tutur Fajar, Minggu (28/5).
Fajar mengaku belum tahu-menahu terkait jadwal sidang pengucapan putusan. “Belum tahu dan belum diagendakan,” katanya.
Lantas apa perbedaan sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup?. Berikut pengertian dan perbedaan sistem proporsional terbuka dan tertutup.
Sistem pemilu proporsional terbuka adalah sistem pemilihan umum di mana pemilih mencoblos partai politik ataupun calon bersangkutan.
Dalam sistem ini pemilih dapat langsung memilih calon legislatif yang dikehendaki untuk dapat duduk menjadi anggota dewan. Secara singkat, sistem proporsional terbuka adalah sistem coblos caleg.
Sistem pemilu proporsional tertutup adalah sistem pemilihan umum di mana pemilih hanya mencoblos nama partai politik tertentu.
Kemudian partai yang menentukan nama-nama yang duduk di menjadi anggota dewan. Secara singkat, sistem proporsional tertutup adalah sistem coblos gambar partai.
Dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia, sistem proporsional terbuka dan tertutup pernah diterapkan. Penerapan sistem pemilu proporsional tertutup pernah diterapkan di Indonesia pada pemilu tahun 1955, pemilu orde baru (tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997), dan pemilu tahun 1999.
Barulah pada pemilu tahun 2004, Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka. Hal ini berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sejak tahun 2004, sistem pemilu proporsional terbuka masih diterapkan sampai saat ini. Penerapan sistem proporsional terbuka di Indonesia yakni pada pemilu 2004, pemilu 2009, pemilu 2015, dan pemilu 2019. (*).