oleh

Jika Takut Viral, Berdebatlah

Belakangan banyak pemegang kekuasaan dan jabatan takut viral. Utamanya di daerah. Takut persoalan kebijakan dan programnya dikulik nitizen. Takut gaya hidupnya disorot. Takut prilakunya diejek.

Kemajuan teknologi informasi memporak-porandakan tembok, sekat, dan batas-batas informasi. Tak ada yang rahasia. Tak ada yang bisa ditutupi. Semua terbuka. Semua jadi kosumsi publik.

Lompatan perubahan ini membuat gagap. Terutama bagi birokrasi pemerintah. Yang cenderung lamban dan rumit. Termasuk lambat beradaptasi.

Pun bagi pejabatnya. Banyak yang gamang. Kaget. Akhirnya prustasi dan emosi.

Demokrasi memberi saluran untuk rakyat. Melakukan protes. Melakukan intrupsi. Melakukan kontrol.Terhadap prilaku, kebijakan, atau keganjilan pemegang kekuasaan.

Ketika saluran formal itu tersumbat. Dibatasi. Atau mandul. Medsos jadi saluran alternatif publik. Mengekspresikan protes.

Vital tak bisa dicegah. Juga tak bisa ditumpas. Karena itu arus besar. Menerjang apa saja yang menghadang.

Dunia maya seperti pisau bermata dua. Satu sisi bisa melukai. Tapi disisi lain bisa menumbuhkan. Tergantung cara menyikapi dan menggunakanya.

Paradigma usang birokrasi dan pejabat harus diubah. Ubah kekakuan, arogansi, dan keleletan. Dengan paradigma baru yang adaftif, friendly, cepat dan dialogis.

Buka sebanyak-banyaknya ruang komunikasi dan dialog. Yang melibatkan publik seluas-luasnya. Bila perlu buka ruang perdebatan. Terkait apa saja yang berkaitan dengan kebijakan dan program. Sehingga jika pun viral, viralnya menarik. Bermoral. Logis. Dan mencerdaskan.

Bukan viral karena arogansi dan emosi yang memantik kegeraman warganet. Pada akhirnya memicu gelombang sentimen negatif pada pemerintah.

Tapi juga pemerintah harus bisa menghadirkan logika, aspiratif dan sesuai kebutuhan rakyat. Dalam setiap kebijakan. Dalam setiap program. Sehingga narasi bisa terbangun dengan baik. Publik bisa paham dengan seksama. Tak bisa asal klaim. Asal cuap.

Semua kebijakan, program, argumen, dan pendapat harus berani diuji. Lewat perdebatan yang argumentatif. Tak perlu takut salah. Karena kita manusia. Bukan malaikat yang benar terus, juga bukan iblis yang salah terus.

Juga tak perlu ragu. Karena itu bukan kitab suci, yang sakral dan tak boleh didebat. Juga bukan khotbah, yang tak boleh diintrupsi.

Dengan begitu. Penghuni dunia maya tercerahkan. Pemerintah mendapat kepercayaan. Ruang publik sehat. Kehidupan menggembirakan. Mencerdaskan. Demokrasi tumbuh.

Buang jauh-jauh. Pikiran dan anggapan publik bisa didektek. Bisa digiring. Bisa dibungkam. Bisa ditakut-takuti. Masa gelap otoriter itu sudah berakhir. Tak boleh main kayu, lebih baik “main hati” bro 🤣🤣🤣. @micoranau