oleh

PP 26/2023 Rentan Terjadi Transaksi Ilegal

Harianpilar.com, Bandarlampung – Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, menuai penolakan.

Selain tidak ada urgensi yang mendesak, kebijakan tersebut dinilai akan merusak ekosistem laut dalam jangka waktu yang lama.

Bahkan berpotensi terjadinya transaksi ilegal untuk menerbitkan perizinan ekspor pasir laut, lantaran pelaku usaha harus mendapat izin dari Menteri ESDM dan gubernur.

Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Wilayah Lampung Habib Al Ansyor menjelaskan, pihaknya mengecam keras dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut.

Dimana, dalam aturan tersebut, pada Bab IV tentang Pemanfaatan pasal 9 ayat 2, pemerintah mengizinkan kembali ekspor pasir laut.

“Setelah 20 tahun ekspor pasir laut tidak lagi diizinkan dengan segala pertimbangan yang akan merusak ekosistem pantai dan laut. Namun sekarang kebijakan tersebut kembali diberlakukan,” kata Habib, Jumat (2/5).

Dengan terbitnya kebijakan itu, kata Habib, tentu rakyat bertanya-tanya ada kepentingan apa gerangan, sehingga pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan ekspor pasir laut.

“Ketentuan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut untuk reklamasi, proyek infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha hingga ekspor tersebut dinilai dapat mengacaukan pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan,” ungkapnya.

Selain itu, PP 26 Tahun 2023, juga berpotensi akan marak terjadinya suap sebab untuk pelaku usaha harus mendapat izin dari Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) atau dari gubernur tentu ini akan menjadi celah-celah terjadinya transaksi ilegal untuk menerbitkan perizinan ekspor pasir laut.

Habib menambahkan, Presiden Jokowi harus berfikir ulang kembali konflik akibat penambangan pasir laut sudah banyak terjadi.

“Di Provinsi Lampung sendiri terjadi pada kasus 7 Maret 2020 di Lampung Timur adanya pembakaran kapal oleh rakyat mengakibatkan konflik antar pengusaha dan masyarakat lokal. Jika sekarang diperkuat melalui PP maka potensi konflik akan semakin luas dan merugikan nelayan kecil,” ucapnya.

Menurutnya, kebijakan ekspor pasir laut sudah pernah dilakukan pada masa orde baru, contoh Pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau (Kepri) dan Pulau Nipah di Batam yang terancam lenyap karena abrasi, sebab pasir yang diekspor untuk mereklamasi Singapura.

Tentu dampak kerusakan bukan hanya pada pantainya melainkan ekosistem biota laut di sekitarnya.

Ditegaskan Kabid Kebijakan Publik KAMMI Lampung Andika Ferdiansyah, Presiden Jokowi harus meninjau ulang Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 tahun 2023.

“Ini karena tidak ada urgensi yang mendesak terkait dengan kebijakan ini, justru kebijakan ini akan merusak ekosistem laut dalam jangka waktu yang lama, habitat ikan terancam rusak dan mengakibatkan nelayan kehilangan sumber mata pencahariannya,” ujarnya.

Sementara Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan menghentikan kebijakan, jika merusak lingkungan.

“Ini tentu menjadi garis besar bahwa peraturan yang dikeluarkan tidak melalui riset akademis, terkesan bermuatan kepentingan golongan tanpa memperdulikan analisis dampak lingkungan yang akan merugikan masyarakat dan kerusakan lingkungan,” tegasnya. (*).