oleh

Pandemi, Lampung Darurat Kekerasan Seksual

Harianpilar.com, Bandarlampung – Provinsi Lampung darurat kasus pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak. Selama pandemi covid-19, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak meningkat drsatis. Dari Januari hingga Oktiber 2021 saja sudah tercatat 459 kasus.
Hal itu terungkap dalam dalam Dialig Bicara Fakta dengan tema “Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Anak” di Pilar TV Entertaimen dengan narasumber Anggota Komisi V DPRD Provinsi Lampung, Lesty Putri Utami dan Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuandan Anak LAda Damar Lampung, Sely Fitriani, Jumat (8/10).
Dalam kesempatan itu, Lesty menyampaikan, berdasarkan data simponi apkikasi Dinas Perlindungan Pemberdayaan Perampuan dan Anak (PPPA) Lampung dari Januari hingga Oktober 2021 terdapat 459 kasus kekerasan seksual terhadapa anak. Dimana, kata dia, sebanyak 66 kasus itu korbannya berjenis kelamin laki-laki dan 439 kasus korbannya adalah perempuan.
“Dan rata-rata usia korban 18 tahun ke bawah, yakni 13-17 tahun dan ada lebih dari 40%,” kata Wakil Ketua HIPMi Lampung ini.
Sedangkan, rata-rata usia pelaku diantara usia 25 sampai 44 tahun. “Jadi ini memang masa-masa puber pelaku,” kata politisi PDI Perjuangan itu.
Dirincikannya, dari 459 kasus, kasus kekerasan seksual ada 357 kasus, kekerasan fisik ada 155 kasus, dan kekerasan psikis ada 141 kasus. “Dan banyak juga kasus eksploitasi seksual, traficking, pelantaran, dan lainnya hingga totalnya ada 459 kasus. Dan ini hanya dalam kurun waktu sepuluh bulan, apa kabar tahun-tahun sebelumnya,” cetus Lesty.
Mirisnya lagi, lanjut Lesty, pelaku dalam kasus tersebut adalah orang yang memiliki hubungan dengan para korban. “Mereka ini saling mengenal dan saling dekat, tapi ternyata mereka yang menjadi pelakunya,” tegas Lesty.
Untuk menekan kasus tersebut, pihaknya sebagai anggota legislatif membuat regulasi sebuah perda tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Harpannya dengan adanya perda ini kekerasan terhadapa perempuan dan anak di Provinsi Lampung ini bisa berkurang dan kalau bisa tidak ada lagi korban,” tukasnya.
Ditempat yang sama, Direktur Eksekutif LAda Damar Lampung, Selly, mengatakan, kekerasan seksual tidak hanya kasus perkosaan. Menurutnya, banyak sekali bentuk kasus kekerasan seksual.”Hasil kami melakukan pendampingan terhadap korban ada beberapa jenis kasus. Mulai dari siul-siul, kekerasan verbal, bullyan yang mengarah kepada anggota tubuh, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual, tindak pidana perdagangan orang, dan kirim-kirim gambar, dan masih banyak lainynya,” beber Selly.
Selly membenarkan kebanyakan pelaku dari kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak adalah orang-orang terdekat korban. “Parahnya saat ini justru korbannya itu kebanyakan adalah anak-anak dan tren selama pandemi covid 19 kasus terhadap anak sangat tinggi. Dan pelaku nggak jauh hubungannya dengan korban itu sendiri,” terang aktivis perampuan ini.
Menurut Selly, sering ditemukan kendala saat melakukan pendampingan terhadap korban. Seperti sektor substansi hukum kemudian juga kulktur hukum “Ada juga terkendala kriminalisasi korban, disini dimana korban diancam balik oleh pelaku dengan tuduhan pencemaran nama baik. Sehingga korban tidak jadi melapor,” kata dia.
Untuk itu, Selly mendorong Pemerintah atuapun DPRD Provinsi Lampung membuat regulasi untuk membentuk visum centre bagi korban. Misalkan, korban diperbolehkan melakukan visum cukup di Puskesmas.”Karena selama ini korban kesulitan untuk visum, mereka harus ke rumah sakit. Bagaimana kalau korbannya jauh dari rumah sakit. Ini yang harus kita perjuangkan untuk mempermudah bagi korban melalukan visum,” jelasnya.
Diakhir dialog itu, Lesty mengajak para korban untuk siap mental dan berani mengungkap kasusnya. “Karena ketika kita berani mengadu harus siap mental. Karena kita mecari kesetaraan hukum seadil-adilnya,” tandasnya.
Sementara, Lesty mengajak para orang tua dan masyarakat untuk memberikan edukasi sejak dini kepada para anak-anaknya terkait edukasi seksual.
Karena, kata dia, peran keluarga dan masyarakat sangat diperlukan untuk menekan angka keerasan seksual terhadap perempuan dan anak. “Jadi selain pemerintah, kita sebagai orang tua dan masyarakat mempunya peran penting untuk menekan kasus ini,” pungkasnya. (Ramona)