oleh

Anggaran DPRD Tubarat ‘Berlumur’ Dugaan KKN

Harianpilar.com, Tulangbawang Barat – Perealisasian sejumlah proyek di Sekretariat DPRD Kabupaten Tulangbawang Barat terindikasi sarat penyimpangan.

Indikasi penyimpangan yang mengarah ke dugaan praktik korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) itu terjadi dari tahun ke tahun.

Bahkan, modus yang digunakan dalam ‘mengakali’ proyek-proyek itu selalu sama yakni pemecahan paket proyek yang disinyalir untuk menghindari tender. Dugaan pemecahan paket proyek ini jelas menyalahi Perpres Nomor 54 tahun 2010

sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Presiden (Perpres) 70 tahun 2012 tentang pengadaan barang dan jasa. Bahkan, pada pasal 24 ayat 3 Perpres itu, dengan jelas disebutkan bahwa menggabungkan atau memecah paket pekerjaan bisa memicu praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Berdasarkan penelusuran dan dokumen yang di peroleh Harian Pilar, indikasi pemecahan paket proyek untuk menghindari tender itu terjadi pada tahun 2014 dan 2015. Pada tahun 2014 indikasi pemecahan paket proyek itu

terjadi pada kegiatan pengadaan peralatan gedung kantor, berupa belanja modal pengadaan Almari yang dipecah menjadi beberapa paket, yakni belanja modal pengadaan Almari dengan volume 2 senilai Rp30 juta, pengadaan Almari dengan volume 2 senilai Rp15 juta, pengadaan Almari dengan volume 8 senilai Rp40 juta, pengadaan Almari dengan volume 1 senilai Rp40 juta, dan pengadaan Almari dengan volume 1 senilai Rp15 juta.

Dugaan pemecahan paket proyek ini juga terjadi pada kegiatan pengadaan peralatan gedung Kantor berupa pengadaan AC. Kegiatan ini dipecah menjadi beberapa beberapa paket proyek yakni pengadaan AC dengan volume 4 senilai Rp20

juta, pengadaan AC Standing Flour dengan volume 4 senilai Rp184 juta, pengadaan AC Seplit senilai Rp124 juta. Kondisi serupa juga terjadi pada kegiatan pengadaan peralatan Gedung kantor berupa pengadaan kursi tamu.

Proyek ini juga dipecah menjadi beberapa paket, yakni pengadaan belanja modal pengadaan kursi tamu lantai 3 dengan volume 180 senilai Rp195 juta, dan pengadaan kursi tamu dengan volume 70 senilai Rp199 juta.

Parahnya, pada tahun 2015 praktik serupa terulang kembali bahkan cenderung lebih massif. Seperti pada kegiatan pengadaan perlengkapan gedung kantor, untuk pengadaan mebeulair saja dipecah menjadi beberapa paket yakni pengadaan kursi rapat senilai Rp172 juta, pengadaan lemari hias persidangan Rp10 juta, pengadaan lemari 2 pintu Rp30 juta, pengadaan meja rapat Rp140 juta, pengadaan lemari kecil Rp20 juta, pengadaan lemari persidangan Rp21 juta, pengadaan lemari pimpinan Rp30 juta.

Pada kegiatan pengadaan peralatan gedung kantor juga dipecah ke beberapa paket proyek, yakni pengadaan printer persidangan senilai Rp9 juta, pengadaan ups persidangan senilai Rp24 juta, pengadaan printer senilai Rp9 juta, pengadaan scanner persidangan Rp15 juta. Kemudian, pengadaan kulkas Rp10 juta, pengadaan ac Rp162 juta, pengadaan

tv persidangan Rp12 juta, pengadaan tv Rp10 juta, pengadaan radio hf/fm Rp17.5 juta, pengadaan ac persidangan Rp60 juta.

Dalam Pepres 54 yang telah diubah menjadi Perpres 70 tahun 2012 pada pasal 24 ayat 3 disebutkan bahwa Menggabungkan atau Memecah paket pekerjaan bisa memicu praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Pemecahan atau penggabungan paket bisa dilakukan dengan pertimbangan yang jelas dan sesuai dengan prinsip pengadaan yang efektif dan efisien, pemecahan paket dapat dilakukan karena perbedaan target penyedia, perbedaan lokasi penerima/pengguna barang yang cukup signifikan, atau perbedaan waktu pemakaian dari barang dan jasa tersebut.

Perpres tersebut pada Huruf (c) juga dijelaskan tindakan memecah Pengadaan Barang/Jasa menjadi beberapa paket dengan maksud menghindari pelelangan merupakan tindakan yang bisa dipidana.

“Memang banyak modus oknum-oknum pengelola anggaran untuk memainkan anggaran. Termasuk pemecahan paket proyek untuk menghindari tender,” terang

Direktur Eksekutif Sentral Investigasi Korupsi Akuntabilitas dan HAM (SIKK-HAM), Handry Martadinyata, saat dimintai tanggapannya, baru-baru ini mengatakan, dengan tidak ditender maka pengelola anggaran bisa bebas menentukan pengadaan barang dan jasa. Namun, hal itu berpotensi merugikan Negara. Sebab, seharusnya dalam pengadaan barang dan jasa dengan sistem tender dapat diperoleh harga termurah dengan kualitas terbaik.

“Kan dengan tender bisa diketahui pihak ketiga yang paling kredibel, dan harga bisa murah karena pihak ketiga saling bersaing,” tandasnya.

Sementara itu, Kepala Bagian Umum Sekretariat DPRD Tubarat, Ahmadi,hingga berita ini diturunkan belum berhasil di konfirmasi. Beberapa kali dihubungi melalui ponselnya, selalu dalam keadaan tidak aktif. (Epriwan/Juanda)