Bandarlampung (Harian Pilar) – Berdasarkan catatan Dinas Perhubungan Kota Bandarlampung, ada sekitar puluhan hotel dan rumah makan di Bandarlampung yang tidak membayar pajak parkir. Ada kesan pengusaha hotel dan rumah makan ini menghindari pembayaran pajak parkir dengan berlindung pada Persatuan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI).
“Banyak sekali hotel di Bandarlampung ini yang tidak membayar pajak parkir,seperti Hotel Amalia,Arinas,Grand Anugrah,Grande serta Sheraton yang pastinya banyak,karena yang baru membayar hanya tiga yakni Hotel Ina Eight, Marcopolo dan Novotel,” ungkap Kepala Dinas Perhubungan Bandarlampung Rifai, saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPRD Kota Bandarlampung, Selasa (20/1/15).
Dikatakan Rifai, persoalan itu terjadi karena pengusaha hotel dan rumah makan ada keengganan untuk mematuhi Peraturan Daerah Nomor I Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah.
“Pengusaha selalu berlindung kepada PHRI,mereka beralasan harus izin dulu ke PHRI,kita paham jika asosiasi mau memberikan perlindungan kepada anggotanya akan tetapi yang menjadi pertanyaannya ,objek pajak kita bukan PHRI tetapi hotel ini yang harus kita luruskan dan PHRI semestinya memberikan pengertian kepada para pengusaha tersebut, bukan justru menghambat pembangunan,” urainya.
Kewajiban membayar pajak parkir, tegasnya, sudah tertuang dalam Perda Pajak Daerah, oleh sebab itu regulasi terkait pajak itu semestinya dipatuhi oleh semua objek pajak.
“Oleh sebab itu ketika nanti ada rapat dengar pendapat terkait pajak parkir, jangan hanya Dishub saja yang diundang, Kabag Hukum dan Asisten I pun harus diundang karena ini kaitannya dengan Perda,” tegasnya.
Disinggung minimnya sosialisasi Perda tersebut, Rifai menampik jika tidak ada sosialisasi yang dilakukan, alasannya selama ini pihaknya sudah melakukan pendekatan terhadap pengusaha hotel dan rumah makan terkait pajak parkir.
“Sudah kita sosialisasikan perda itu, saya kira menyangkut masalah kesadaran objek pajak,” tandasnya.
Dengan banyak Hotel dan rumah makan yang tidak membayar pejak tersebut, Rifai’I mengakui ada sejumlah potensi PAD yang tidak tergali dan nilainya mencapai ratusan juta.
“Sekitar Rp 500 juta potensi yang tidak tergali dengan tidak dibayarkannya pajak parkir itu oleh pengusaha hotel dan restoran,” tambahnya.
menanggapi hal itu Anggota Komisi III Yuhadi mengatakan pihaknya mengapresiasi kinerja Dishub,dengan alasan ada peningkatan pendapatan PAD setiap tahunnya dari Dishub dari semua sector retribusi dan Pajak.
Kendati demikian pihaknya tetap akan melakukan pengawasan dan evaluasi terkait tidak tercapainya target PAD di beberapa sector,seperti retribusi parkir dan pajak parkir.
“Dalam catatan kami dari tahun ketahun ada peningkatan.Tahun 2010 PAD yang terserap Rp. 4 milyar,2011 Rp.6 milyar,2012 Rp.10 milyar, tahun 2013 Rp.10 milyar dan tahun 2014 11 milyar lebih.
Artinya secara akumulatif ada progress yang positif,akan tetapi hal itu harus kita koreksi kembali dimana kendalanya agar tahun 2015 ini peningkatan PADnya dapat mencapai target,” kata Politisi Golkar ini.
Senada dengannya, Sekretaris Komisi III Muchlas Ermanto Bastari mengatakan regulasi tentang tentang Pajak Daerah itu memang tidak memuat secara detil terkait pemilik usaha apa yang harus membayar pajak parkir,akan tetapi Muchlas berpendapat semestinya dengan dibayarnya pajak tersebut oleh pengusaha hotel dan restoran,hal itu berarti bentuk komitmen dan tanggung bersama antara pengusaha dan pemerintah daerah dalam membangun Kota Bandarlampung.
“Pengusaha harus ikut aktif membangun bersama dengan pemerintah,dengan adanya kepatuhan terhadap regulasi tersebut artinya itu sebagai bentuk tanggung jawab pengusaha terhadap kemajuan kota bandarlampung ini,”tegas Politisi PKS ini.
Sementara Ketua Komisi III Heriyadi Payacoen mengatakan pihaknya akan kembali mengagendakan rapat dengar pendapat kembali dengan memanggil PHRI Lampung.
“Kia akan agendakan hearing dengan PHRI dan Dishub kembali untuk mencari titik temu agar potensi dari pajak parkir ini dapat terpenuhi sesuai dengan yang ditargetkan,” singkatnya. (Lia/JJ)